“Maafkan aku, Mayla. Berikan aku
kesempatan untuk menjelaskan semuanya,” kejar Farhan, berharap sang kekasih
bersedia mendengarkannya.
“Aku mengerti, Farhan. Aku sudah
mengerti tanpa harus mendengar penjelasan darimu.” Hati Mayla memang terasa
begitu tersayat menyaksikan pengkhianatan cinta Farhan dengan perempuan lain di
balik punggungnya.
“Aku tak mau kehilanganmu, Mayla. Aku
mencintaimu, amat sangat mencintaimu. Aku tahu bahwa apa yang sudah aku lakukan
sangat melukai hatimu. Maafkan aku. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki
hubungan ini dan mengembalikan kepercaya-an yang kau berikan padaku.”
“Aku tidak akan meninggalkanmu sekarang,
Farhan. Dan aku juga belum tahu apa keputusan yang akan aku ambil untuk
hubungan kita ini. Aku masih tetap percaya padamu. Alangkah lebih baik bahwa
saat ini kita tidak berhubungan untuk beberapa waktu dan waktu itu akan kita
gunakan untuk merenungkan segala hal yang telah kita perbuat yang membuat kita
sampai pada masalah yang kita hadapi saat ini. Maafkan aku.” Mayla berlalu,
membawa sejuta luka dan serpihan-serpihan kehancuran hatinya, dan meninggalkan Farhan
bersama dengan kesalahan yang membuat hati sang kekasih teriris.
***
Farhan terhenyak dari mimpinya. Nafasnya
memburu. Peluhnya menetes dari dahinya. Jantungnya berdegup berkali lipat lebih
cepat. Ia sempat tertegun dengan mimpinya setelah keadaannya kembali normal.
Nafas yang tersengal-sengal dan keringat yang bercucuran serta detak jantungnya
yang melampaui batas normal dari mimpinya, saat mengejar kekasihnya yang terus
berlari menjauhinya, terbawa saat ia terjaga. Mayla, entah sudah berapa kali benaknya menyebut nama itu. Kedua
telapak tangannya menutupi seluruh bagian wajahnya. Ekor matanya sedikit
menangkap jam weker di meja lampunya. Pukul 05.54. Dengan enggan Farhan menarik
handuk dan bergegas mandi.
Farhan keluar dari kamarnya dengan
seragam putih abu-abunya yang sedikit acak-acakan dan ransel di punggungnya.
Kakak perempuannya, Dewi, tengah menyiapkan sarapan di ruang makan. Masih dengan
gerakan malas Farhan duduk di salah satu kursi makan, mengambil gelas yang
sudah berisi susu coklat hangat buatan Dewi lalu meminumnya seteguk.
“Farhan, ada apa denganmu? Kamu sakit?”
tanya Dewi. Ada rasa khawatir yang hinggap begitu saja di benak Dewi saat
menyaksikan adik semata wayangnya tak bergairah hari itu.
“Farhan sehat, Mbak,” ucap Farhan lirih.
“Pasti marahan sama Mayla.”
Farhan tertunduk. Tubuhnya serasa
dibebani berton-ton pecahan kaca yang membuatnya terluka karena kesalahannya
sendiri. “Farhan menyesal, Mbak.”
“Apa yang kamu lakukan sampai harus
marahan sama Mayla?” desak Dewi. Ia sangat ingin mengetahui pergumulan apa yang
terjadi di antara adik laki-lakinya ini dengan sang kekasih.
“Kami nggak marahan, Mbak. Mayla hanya memohon
agar kami nggak berhubungan selama beberapa waktu untuk introspeksi diri.” Farhan
masih menunduk. Sejujurnya ia takut menatap wajah kakak perempuannya, yang
sudah hampir berumah tangga itu, setelah diakuinya bahwa ia telah mengkhianati
kisah cintanya dengan Mayla. Dengan menarik nafas panjang lalu menghembuskannya
perlahan Farhan siap menceritakan semuanya pada kakaknya. “Farhan jahat, Mbak. Farhan
punya pacar lain selagi Mayla masih jadi pacar Farhan. Farhan sudah mencoba
menjelaskan semuanya tapi Mayla berkata bahwa dia mengerti dan memutuskan
seperti itu,” akunya.
Mata Dewi menangkap setetes air yang
keluar dari mata Farhan. Setetes air mata sesal yang amat keruh. Baru kali ini
ia melihat adik semata wayangnya menangis, apalagi menangis karena seorang wanita.
Apa yang dilakukan Farhan memang sangat disayangkan Dewi, namun ada suatu rasa
yang tanpa sadar Farhan keluarkan dari dirinya agar Dewi mengerti kesungguhan
hatinya mencintai Mayla.
“Kalau Mbak boleh jujur,” Dewi terdiam
sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. Lalu katanya, “Kamu itu masih labil, Farhan.
Ada saatnya seorang anak laki-laki masih suka menikmati masa mudanya.
Sebenarnya dia yang sudah punya seorang pacar tapi dia malah menyukai gadis
lain. Di sisi lain hatinya tak ada keinginan untuk melepas sang pacar yang
sudah mengisi kekosongan hatinya dan harinya. Mbak memang sedikit kecewa dengan
apa yang sudah kamu lakukan. Mbak tahu rasanya dikhianati orang yang sangat
dicintai bagaimana sakitnya dan kau tahu sendiri Mbak juga pernah menga-lami
pengkhianatan semacam ini. Kamu beruntung Mayla masih memberimu kesempatan
untuk berintrospeksi pada dirimu sendiri agar di kemudian hari kamu tidak jatuh
pada lubang yang sama. Tetapi percayalah pada Mbak, Mayla sangat mencintaimu.
Sebagai sesama kaum perempuan Mbak bisa membaca semuanya yang ada pada Mayla.
Dan kamu perlu memberi kesempatan pada Mayla juga untuk menenangkan hatinya.”
Dewi tersenyum meneguhkan hati Farhan.
Bulir-bulir air mata Farhan jatuh. Ia
pun menyekanya dengan punggung tangannya. Beban di pundaknya sedikit berkurang.
Kakak perempuannya itu memang selalu ada untuknya saat dadanya penuh sesak oleh
pergumulan hidupnya. “Makasih, Mbak. Farhan sudah merasa lebih baik sekarang,”
katanya dengan senyum yang sedikit meng-embang.
Dewi tersenyum. Ada suatu rasa yang
menyelinap ketika ia melihat adik laki-lakinya tersenyum. “Lebih baik kamu
habiskan sarapanmu lalu berangkat.”
“Iya, Mbak.”
***
Malam itu langit cerah. Sang bulan
menampakkan dirinya tanpa rasa malu. Farhan sudah nampak di dalam sebuah ruang
kelas di sekolahnya tempat berkumpul peserta pentas seni. Malam itu diadakan
acara pentas seni dalam rangka Dies Natalis SMK Penerbangan Yogyakarta, sekolah
di mana Farhan dan Mayla menimba ilmu. Bersama gitarnya ia akan menampilkan
sebuah lagu bernuansa akustik.
Sebuah bayangan berkelebat di depan
ruang kelas tempat Farhan dan teman-temannya berkumpul. Bayangan seperti
seorang perempuan bersama seorang teman perempuannya yang lain.
“Mayla!” panggil Farhan saat kedua perempuan
itu mulai menjauh dari ruang kelas.
Kedua perempuan tadi menoleh. Mayla
mendapati Farhan sudah ada di hadapannya. “Ada apa?” tanyanya.
“Lebih baik kalau kalian berdua saja
ngobrolnya. Aku ke toilet dulu, Mayla.” Teman perempuan yang tadinya berjalan
beriringan dengan Mayla kini meninggalkannya.
“Aku ingin bicara padamu. Aku sangat
merindukanmu, Mayla. Aku masih sangat merasa bersalah. Aku selalu dihantui
bayanganmu. Beri aku kesempatan yang kedua untuk membuatmu lebih bahagia lagi,”
ucap Farhan. Raut wajahnya memelas.
“Maaf, Farhan. Belum saatnya kita
bertemu.” Mayla kembali meninggalkan Farhan dengan rasa bersalahnya yang masih
bergelayut ria di hatinya.
“Acara selanjutnya adalah sebuah
pementasan dari salah seorang teman kita yang akan menampilkan suara emasnya
dengan iringan akustik yang dimainkannya sendiri.” Terdengan suara sang MC yang
membacakan acara selanjutnya. “Langsung saja kita sambut, Antony Farhan dari
kelas XI AFP 1!”
***
Farhan mengakhiri pentasnya dengan
senyuman dan bergegas turun dari panggung. Gitarnya teronggok begitu saja di
atas meja di ruang kelas. Ia mengingat saat tampil di panggung tadi. Sosok Mayla
sama sekali tak nampak. Ia begitu kecewa. Namun ada sedikit harapan Mayla
mendengarkan semua ungkapan darinya bahwa ia benar-benar sangat mencintai
perempuan itu melalui sebuah lagu yang dibawakannya tadi.
“Perkenalkan, saya Veronica Mayla
Ardhayanti dari kelas XI AFP 4. Saya akan membawakan sebuah lagu dari Ungu, dan
lagu ini saya persembahkan untuk seorang siswa dari kelas XI AFP 1 yang bernama
Antony Farhan. Selamat menikmati.”
Farhan mendengar suara yang sangat
familiar di telinganya disusul tepuk tangan dan sorak sorai dari penonton. Ia
sempat berfikir bahwa pentasnya tadi adalah pentas terakhir sebelum penghujung
acara. Dengan terburu-buru Farhan keluar dari ruang kelas dan berdiri sedikit
jauh di depan panggung. Dan ia tak salah bahwa yang ada di panggung adalah Mayla,
kekasihnya. Dengan gitar klasik yang sudah siap dimainkan Mayla mulai
melantunkan sebuah lagu.
Terang
dalam Gelapku
Kita
yang pernah merasakan
Hitam
terangnya cinta
Bersamamu
‘kan kujelang hari bahagia
Tanpamu
kugelap, tanpamu gelap
Simpan
saja semua cerita
Tentang
hitamnya cinta
Bersamamu
‘kan kujelang hari bahagia
Tanpamu
kugelap, engkaulah terang
Dan
aku telah yakinkan hatiku
Bahagia
‘kan kujelang bersamamu
Dan
aku yang tak bisa tanpamu
Karena
engkaulah terang dalam gelapku
Bulan
bintang yang selalu datang
Setia
terangi malam
Tak
seterang hatimu, tak seterang cinta
Yang
kau berikan, yang kau berikan
Dan
aku telah yakinkan hatiku
Bahagia
‘kan kujelang bersamamu
Dan
aku yang tak bisa tanpamu
Karena
engkaulah terang dalam gelapku
Dan
aku telah yakinkan hatiku
Bahagia
‘kan kujelang bersamamu
Dan
aku yang tak bisa tanpamu
Karena
engkaulah terang dalam gelapku
Dan
aku telah yakinkan hatiku
Bahagia
‘kan kujelang bersamamu
Farhan tertawa bahagia, menangkap apa
makna dari lagu yang Mayla nyanyikan. Tak pernah terlintas di pikirannya Mayla,
kekasih yang paling dicintainya, membawakan sebuah senandung penuh makna
terkhusus untuk dirinya. Matanya mulai berair. Ada rasa haru yang terpancar.
Tepuk tangan dari penonton membuatnya berani untuk mendekati Mayla yang masih
berdiri di atas panggung sambil menangis. Tanpa ada rasa malu sedikitpun Farhan
memeluk Mayla disaksikan oleh ratusan pasang mata. Tepuk tangan dan sorak sorai
mereka semakin riuh rendah menyaksikan adegan dramatis di atas panggung. Dengan
sigap Farhan menarik tangan Mayla dan membawanya ke sebu-ah teras gereja di
belakang gedung sekolah.
“Aku baru tahu bahwa kau juga ikut
pentas. Padahal di rundown pentasmu
tak tercantum di sana,” ungkap Farhan, sesampainya mereka di depan gereja.
“Ini memang sudah aku rencanakan
jauh-jauh hari dan aku bekerja sama dengan semua anggota OSIS. Hanya kau saja
anggota OSIS yang tak diberi tahu,” ucap Mayla sambil tersenyum penuh
kemenangan.
“Jadi, apakah kau sudah memaafkanku?” Farhan
memburu. Ia memang sangat berharap Mayla mau menerimanya lagi.
“Menurutmu bagaimana?” Nada bicara Mayla
terdengar meremehkan.
“Ayolah, Mayla. Jawab saja
pertanyaanku.”
“Iya, aku memaafkanmu.” Mayla merengkuh
tubuh Farhan dalam dekapannya.
“Atas dasar apa?” Mereka saling
melepaskan pelukan.
“Seperti yang ada dalam lagu tadi.
Suaraku sumbang, ya? Maaf aku memang tak pandai menyanyi.”
“Di telingaku terdengar sangat merdu.
Sudah lama aku tak mendengar suaramu. Aku sangat merindukanmu, Mayla.” Farhan
menggenggam erat kedua tangan mungil Mayla lalu memeluknya. Kali ini Farhan
benar-benar menangis. Dan air yang keluar dari matanya kini nampak jernih.
Hatinya kini telah utuh kembali. Separuh hati dan jiwanya yang meninggalkannya
beberapa waktu telah kembali.
“Aku mencintaimu, Farhan. Sekalipun kau
telah membuat hatiku remuk namun dari bekas kehancuran hatiku tetap terbentuk
namamu. Aku merasa sangat sulit jika harus meninggalkanmu hanya karena kau
telah melakukan kesalahan yang mungkin di masa yang akan datang bisa
diperbaiki. Aku tak mendendam, aku tak akan membalas apa yang telah kau lakukan
padaku. Aku tetap akan mempertahankan cinta ini, hati ini, dan hubungan ini
sampai hanya Tuhan saja yang memisahkan kita.”
“Aku sangat beruntung bisa memilikimu, Mayla.
Di depan gereja ini, yang berarti aku berjanji di hadapan Tuhan, bahwa aku akan
selalu melakukan yang terbaik untukmu, segala dukamu akan kutanggung, dan
segala sukacitamu mengiringimu dalam setiap langkah hidup kita. Aku yang telah
menyakiti hatimu hingga membuatmu harus membuang air mata, aku sendiri yang
akan menghapus air matamu dan takkan pernah kubiarkan air matamu mengalir
kembali. Engkaulah alasan untukku berubah, alasan untukku memulai segalanya
dari awal.”