Kamis, 09 Oktober 2014

"Terang dalam Gelapku" (2014)

“Maafkan aku, Mayla. Berikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya,” kejar Farhan, berharap sang kekasih bersedia mendengarkannya.
“Aku mengerti, Farhan. Aku sudah mengerti tanpa harus mendengar penjelasan darimu.” Hati Mayla memang terasa begitu tersayat menyaksikan pengkhianatan cinta Farhan dengan perempuan lain di balik punggungnya.
“Aku tak mau kehilanganmu, Mayla. Aku mencintaimu, amat sangat mencintaimu. Aku tahu bahwa apa yang sudah aku lakukan sangat melukai hatimu. Maafkan aku. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan ini dan mengembalikan kepercaya-an yang kau berikan padaku.”
“Aku tidak akan meninggalkanmu sekarang, Farhan. Dan aku juga belum tahu apa keputusan yang akan aku ambil untuk hubungan kita ini. Aku masih tetap percaya padamu. Alangkah lebih baik bahwa saat ini kita tidak berhubungan untuk beberapa waktu dan waktu itu akan kita gunakan untuk merenungkan segala hal yang telah kita perbuat yang membuat kita sampai pada masalah yang kita hadapi saat ini. Maafkan aku.” Mayla berlalu, membawa sejuta luka dan serpihan-serpihan kehancuran hatinya, dan meninggalkan Farhan bersama dengan kesalahan yang membuat hati sang kekasih teriris.

***

Farhan terhenyak dari mimpinya. Nafasnya memburu. Peluhnya menetes dari dahinya. Jantungnya berdegup berkali lipat lebih cepat. Ia sempat tertegun dengan mimpinya setelah keadaannya kembali normal. Nafas yang tersengal-sengal dan keringat yang bercucuran serta detak jantungnya yang melampaui batas normal dari mimpinya, saat mengejar kekasihnya yang terus berlari menjauhinya, terbawa saat ia terjaga. Mayla, entah sudah berapa kali benaknya menyebut nama itu. Kedua telapak tangannya menutupi seluruh bagian wajahnya. Ekor matanya sedikit menangkap jam weker di meja lampunya. Pukul 05.54. Dengan enggan Farhan menarik handuk dan bergegas mandi.
Farhan keluar dari kamarnya dengan seragam putih abu-abunya yang sedikit acak-acakan dan ransel di punggungnya. Kakak perempuannya, Dewi, tengah menyiapkan sarapan di ruang makan. Masih dengan gerakan malas Farhan duduk di salah satu kursi makan, mengambil gelas yang sudah berisi susu coklat hangat buatan Dewi lalu meminumnya seteguk.
“Farhan, ada apa denganmu? Kamu sakit?” tanya Dewi. Ada rasa khawatir yang hinggap begitu saja di benak Dewi saat menyaksikan adik semata wayangnya tak bergairah hari itu.
“Farhan sehat, Mbak,” ucap Farhan lirih.
“Pasti marahan sama Mayla.”
Farhan tertunduk. Tubuhnya serasa dibebani berton-ton pecahan kaca yang membuatnya terluka karena kesalahannya sendiri. “Farhan menyesal, Mbak.”
“Apa yang kamu lakukan sampai harus marahan sama Mayla?” desak Dewi. Ia sangat ingin mengetahui pergumulan apa yang terjadi di antara adik laki-lakinya ini dengan sang kekasih.
“Kami nggak marahan, Mbak. Mayla hanya memohon agar kami nggak berhubungan selama beberapa waktu untuk introspeksi diri.” Farhan masih menunduk. Sejujurnya ia takut menatap wajah kakak perempuannya, yang sudah hampir berumah tangga itu, setelah diakuinya bahwa ia telah mengkhianati kisah cintanya dengan Mayla. Dengan menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan Farhan siap menceritakan semuanya pada kakaknya. “Farhan jahat, Mbak. Farhan punya pacar lain selagi Mayla masih jadi pacar Farhan. Farhan sudah mencoba menjelaskan semuanya tapi Mayla berkata bahwa dia mengerti dan memutuskan seperti itu,” akunya.
Mata Dewi menangkap setetes air yang keluar dari mata Farhan. Setetes air mata sesal yang amat keruh. Baru kali ini ia melihat adik semata wayangnya menangis, apalagi menangis karena seorang wanita. Apa yang dilakukan Farhan memang sangat disayangkan Dewi, namun ada suatu rasa yang tanpa sadar Farhan keluarkan dari dirinya agar Dewi mengerti kesungguhan hatinya mencintai Mayla.
“Kalau Mbak boleh jujur,” Dewi terdiam sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. Lalu katanya, “Kamu itu masih labil, Farhan. Ada saatnya seorang anak laki-laki masih suka menikmati masa mudanya. Sebenarnya dia yang sudah punya seorang pacar tapi dia malah menyukai gadis lain. Di sisi lain hatinya tak ada keinginan untuk melepas sang pacar yang sudah mengisi kekosongan hatinya dan harinya. Mbak memang sedikit kecewa dengan apa yang sudah kamu lakukan. Mbak tahu rasanya dikhianati orang yang sangat dicintai bagaimana sakitnya dan kau tahu sendiri Mbak juga pernah menga-lami pengkhianatan semacam ini. Kamu beruntung Mayla masih memberimu kesempatan untuk berintrospeksi pada dirimu sendiri agar di kemudian hari kamu tidak jatuh pada lubang yang sama. Tetapi percayalah pada Mbak, Mayla sangat mencintaimu. Sebagai sesama kaum perempuan Mbak bisa membaca semuanya yang ada pada Mayla. Dan kamu perlu memberi kesempatan pada Mayla juga untuk menenangkan hatinya.” Dewi tersenyum meneguhkan hati Farhan.
Bulir-bulir air mata Farhan jatuh. Ia pun menyekanya dengan punggung tangannya. Beban di pundaknya sedikit berkurang. Kakak perempuannya itu memang selalu ada untuknya saat dadanya penuh sesak oleh pergumulan hidupnya. “Makasih, Mbak. Farhan sudah merasa lebih baik sekarang,” katanya dengan senyum yang sedikit meng-embang.
Dewi tersenyum. Ada suatu rasa yang menyelinap ketika ia melihat adik laki-lakinya tersenyum. “Lebih baik kamu habiskan sarapanmu lalu berangkat.”
“Iya, Mbak.”

***

Malam itu langit cerah. Sang bulan menampakkan dirinya tanpa rasa malu. Farhan sudah nampak di dalam sebuah ruang kelas di sekolahnya tempat berkumpul peserta pentas seni. Malam itu diadakan acara pentas seni dalam rangka Dies Natalis SMK Penerbangan Yogyakarta, sekolah di mana Farhan dan Mayla menimba ilmu. Bersama gitarnya ia akan menampilkan sebuah lagu bernuansa akustik.
Sebuah bayangan berkelebat di depan ruang kelas tempat Farhan dan teman-temannya berkumpul. Bayangan seperti seorang perempuan bersama seorang teman perempuannya yang lain.
“Mayla!” panggil Farhan saat kedua perempuan itu mulai menjauh dari ruang kelas.
Kedua perempuan tadi menoleh. Mayla mendapati Farhan sudah ada di hadapannya. “Ada apa?” tanyanya.
“Lebih baik kalau kalian berdua saja ngobrolnya. Aku ke toilet dulu, Mayla.” Teman perempuan yang tadinya berjalan beriringan dengan Mayla kini meninggalkannya.
“Aku ingin bicara padamu. Aku sangat merindukanmu, Mayla. Aku masih sangat merasa bersalah. Aku selalu dihantui bayanganmu. Beri aku kesempatan yang kedua untuk membuatmu lebih bahagia lagi,” ucap Farhan. Raut wajahnya memelas.
“Maaf, Farhan. Belum saatnya kita bertemu.” Mayla kembali meninggalkan Farhan dengan rasa bersalahnya yang masih bergelayut ria di hatinya.
“Acara selanjutnya adalah sebuah pementasan dari salah seorang teman kita yang akan menampilkan suara emasnya dengan iringan akustik yang dimainkannya sendiri.” Terdengan suara sang MC yang membacakan acara selanjutnya. “Langsung saja kita sambut, Antony Farhan dari kelas XI AFP 1!”

***

Farhan mengakhiri pentasnya dengan senyuman dan bergegas turun dari panggung. Gitarnya teronggok begitu saja di atas meja di ruang kelas. Ia mengingat saat tampil di panggung tadi. Sosok Mayla sama sekali tak nampak. Ia begitu kecewa. Namun ada sedikit harapan Mayla mendengarkan semua ungkapan darinya bahwa ia benar-benar sangat mencintai perempuan itu melalui sebuah lagu yang dibawakannya tadi.
“Perkenalkan, saya Veronica Mayla Ardhayanti dari kelas XI AFP 4. Saya akan membawakan sebuah lagu dari Ungu, dan lagu ini saya persembahkan untuk seorang siswa dari kelas XI AFP 1 yang bernama Antony Farhan. Selamat menikmati.”
Farhan mendengar suara yang sangat familiar di telinganya disusul tepuk tangan dan sorak sorai dari penonton. Ia sempat berfikir bahwa pentasnya tadi adalah pentas terakhir sebelum penghujung acara. Dengan terburu-buru Farhan keluar dari ruang kelas dan berdiri sedikit jauh di depan panggung. Dan ia tak salah bahwa yang ada di panggung adalah Mayla, kekasihnya. Dengan gitar klasik yang sudah siap dimainkan Mayla mulai melantunkan sebuah lagu.

Terang dalam Gelapku

Kita yang pernah merasakan
Hitam terangnya cinta
Bersamamu ‘kan kujelang hari bahagia
Tanpamu kugelap, tanpamu gelap

Simpan saja semua cerita
Tentang hitamnya cinta
Bersamamu ‘kan kujelang hari bahagia
Tanpamu kugelap, engkaulah terang

Dan aku telah yakinkan hatiku
Bahagia ‘kan kujelang bersamamu
Dan aku yang tak bisa tanpamu
Karena engkaulah terang dalam gelapku

Bulan bintang yang selalu datang
Setia terangi malam
Tak seterang hatimu, tak seterang cinta
Yang kau berikan, yang kau berikan

Dan aku telah yakinkan hatiku
Bahagia ‘kan kujelang bersamamu
Dan aku yang tak bisa tanpamu
Karena engkaulah terang dalam gelapku

Dan aku telah yakinkan hatiku
Bahagia ‘kan kujelang bersamamu
Dan aku yang tak bisa tanpamu
Karena engkaulah terang dalam gelapku

Dan aku telah yakinkan hatiku
Bahagia ‘kan kujelang bersamamu

Farhan tertawa bahagia, menangkap apa makna dari lagu yang Mayla nyanyikan. Tak pernah terlintas di pikirannya Mayla, kekasih yang paling dicintainya, membawakan sebuah senandung penuh makna terkhusus untuk dirinya. Matanya mulai berair. Ada rasa haru yang terpancar. Tepuk tangan dari penonton membuatnya berani untuk mendekati Mayla yang masih berdiri di atas panggung sambil menangis. Tanpa ada rasa malu sedikitpun Farhan memeluk Mayla disaksikan oleh ratusan pasang mata. Tepuk tangan dan sorak sorai mereka semakin riuh rendah menyaksikan adegan dramatis di atas panggung. Dengan sigap Farhan menarik tangan Mayla dan membawanya ke sebu-ah teras gereja di belakang gedung sekolah.
“Aku baru tahu bahwa kau juga ikut pentas. Padahal di rundown pentasmu tak tercantum di sana,” ungkap Farhan, sesampainya mereka di depan gereja.
“Ini memang sudah aku rencanakan jauh-jauh hari dan aku bekerja sama dengan semua anggota OSIS. Hanya kau saja anggota OSIS yang tak diberi tahu,” ucap Mayla sambil tersenyum penuh kemenangan.
“Jadi, apakah kau sudah memaafkanku?” Farhan memburu. Ia memang sangat berharap Mayla mau menerimanya lagi.
“Menurutmu bagaimana?” Nada bicara Mayla terdengar meremehkan.
“Ayolah, Mayla. Jawab saja pertanyaanku.”
“Iya, aku memaafkanmu.” Mayla merengkuh tubuh Farhan dalam dekapannya.
“Atas dasar apa?” Mereka saling melepaskan pelukan.
“Seperti yang ada dalam lagu tadi. Suaraku sumbang, ya? Maaf aku memang tak pandai menyanyi.”
“Di telingaku terdengar sangat merdu. Sudah lama aku tak mendengar suaramu. Aku sangat merindukanmu, Mayla.” Farhan menggenggam erat kedua tangan mungil Mayla lalu memeluknya. Kali ini Farhan benar-benar menangis. Dan air yang keluar dari matanya kini nampak jernih. Hatinya kini telah utuh kembali. Separuh hati dan jiwanya yang meninggalkannya beberapa waktu telah kembali.
“Aku mencintaimu, Farhan. Sekalipun kau telah membuat hatiku remuk namun dari bekas kehancuran hatiku tetap terbentuk namamu. Aku merasa sangat sulit jika harus meninggalkanmu hanya karena kau telah melakukan kesalahan yang mungkin di masa yang akan datang bisa diperbaiki. Aku tak mendendam, aku tak akan membalas apa yang telah kau lakukan padaku. Aku tetap akan mempertahankan cinta ini, hati ini, dan hubungan ini sampai hanya Tuhan saja yang memisahkan kita.”

“Aku sangat beruntung bisa memilikimu, Mayla. Di depan gereja ini, yang berarti aku berjanji di hadapan Tuhan, bahwa aku akan selalu melakukan yang terbaik untukmu, segala dukamu akan kutanggung, dan segala sukacitamu mengiringimu dalam setiap langkah hidup kita. Aku yang telah menyakiti hatimu hingga membuatmu harus membuang air mata, aku sendiri yang akan menghapus air matamu dan takkan pernah kubiarkan air matamu mengalir kembali. Engkaulah alasan untukku berubah, alasan untukku memulai segalanya dari awal.”

"Kotak (Milik) Pandora" (2014)

“Menurutku—” Aku berusaha mengeluarkan buah pikirku. Tetapi…
“Menurutku kita harus ke sana, Ris,” potongnya.
Ah. Tepat sekali dugaanku. Makhluk satu ini yang bernama Eros benar-benar membuatku frustrasi. Hampir saja aku melempar botol bir ini ke kepalanya dan meng-hancurkan wajahnya.
“Ros, kamu tahu rumah itu terlalu bahaya buat kita. Kemarin kita hampir nggak bisa keluar dari sana,” kataku berusaha membuat Eros mengubah rencana gilanya.
Bulu kudukku mulai meremang, teringat betapa ngerinya suasana rumah tua ber-gaya Eropa itu yang kami datangi beberapa hari yang lalu.
“Aku masih ingin menyelidiki sejarah rumah itu. Apa yang membuat kita terpe-rangkap di sana kemarin? Aku curiga, mungkin ada orang lain yang sengaja mengurung kita di dalam rumah itu.” Tangannya menopang dagunya sambil berpikir. Laptop di de-pannya menyala dan menampilkan profil rumah-rumah tua di kota ini.
Tiba-tiba matanya berbinar lalu menggosok-gosokkan tangannya, pertanda darah di otaknya sedang lancar.
Dan aku sadar dengan apa yang akan dilakukannya kali ini.
“Kamu bener-bener nekad, Ros. Aku nggak ikut misimu kali ini.”
“Yah, kalau kamu nggak ikut aku bakal—”
Nah, apa aku bilang!
“Oke, aku ikut,” potongku.
Aku tahu bahwa dia akan mengatakan “Kalau kamu nggak ikut aku bakal bilang ke Nadia kalau kamu masih sering minum”. Ancaman yang digunakannya agar aku mau mengikuti aksi gilanya itu. Ancaman yang sebenarnya menurutku sangat murahan tetapi sangat mematikanku karena dia tahu bahwa Nadia, kekasihku, sangat, sangat, dan sa-ngat benci dengan minuman berbau alkohol seperti yang aku minum ini. Arrrgghhhhh…!! Kalau saja dia bukan anak sahabat Mama dan Papa pasti sudah kutelan hidup-hidup.
Jeep Katana modifikasi milikku yang bertengger di depan rumah Eros menyam-but saat kami keluar. Seorang kreator seperti Eros selalu membuatku berdecak kagum ketika melihat hasil karya tangannya. Mobil tuaku ini buktinya. Dengan berbekal cat semprot dia mengubah mobil tua ini menjadi seperti mobil paling antik sedunia. Seti-daknya itu menurut pengamatanku. Tapi untuk masalah menyelidiki sesuatu yang me-nurutku berbahaya aku tak akan pernah mau merestuinya.
Kami terdiam sepanjang perjalanan ke rumah tua itu. Aku yang sedang tidak di bawah pengaruh bir yang aku minum tadi duduk di kursi kemudi, mengendalikan laju mobil tua ini dengan penuh konsentrasi. Eros yang duduk di samping kursi kemudi si-buk dengan tabletnya, mencoba mencari profil rumah tua yang akan kami kunjungi. Ma-tanya hampir tak berkedip melihat apa yang ada di screen tabletnya.
Tak lama kemudian mobil yang kami tumpangi memasuki sebuah perkampung-an di mana rumah tua itu dibangun. Suasana begitu mencekam. Hanya ada satu dua ru-mah yang kami temui. Hingga akhirnya kami menemukan sebuah rumah yang tak lain adalah rumah yang sedang ada di dalam otak sahabatku yang paling sinting ini.
Menurut cerita warga di sini yang diceritakan secara turun temurun, rumah tua bergaya Eropa itu adalah rumah milik pasangan suami istri keturunan Inggris. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang saat itu masih berusia sepuluh tahun. Mereka tinggal di sana sekitar tahun 1960-an hingga 1970-an. Saat umur sang anak sudah dua puluh tahun sekelompok orang berjubah hitam merampok dan membantai habis-habisan keluarga itu. Dan kabar yang diperoleh dari pihak kepolisian para perampok yang ter-tangkap mati secara misterius saat mereka masih menjalani hukuman di penjara. Konon katanya hantu keluarga itu masih sering menampakkan diri di sekitar rumah itu dan ter-dengar suara jeritan histeris.
Pantas, kemarin aku seperti mendengar jeritan minta tolong.
Suasana tetap mencekam saat kami mulai memasuki rumah tua itu. Letak pera-botan yang ditinggalkan sama sekali tak berubah. Jejak kaki saat kami meronta-ronta kemarin masih ada di lantai dekat pintu utama. Hanya satu hal yang berbeda.
Aku tak dapat merasakan hawa kehadiran para makhluk itu lagi!
Aneh. Padahal saat kami datang ke sini kemarin hawanya sudah dapat kurasakan saat kami memasuki pintu gerbang.
“Kita berpencar. Aku ke lantai atas, kamu di lantai bawah,” katanya mengoman-do.
Aku melongo. Dengan entengnya dia melayangkan sebuah perintah dengan la-gak seperti sang atasan yang memberi komando pada bawahannya. Terkadang, bahkan sering kali, dia membuatku sangat frustrasi akan aksi gilanya itu.
Tapi kali ini entah kenapa aku tak bisa menolaknya. Ada suatu dorongan dari da-lam hati untuk menguak sebuah misteri rumah ini.
Ya, setidaknya aku hanya berperan sebagai pembantu si maniak misteri satu ini yang bola matanya sudah beringas mengamati setiap senti seisi lantai atas.
Hampir satu jam aku mencari suatu hal yang dirasa aneh di lantai bawah ini. Dan aku sama sekali tak menemukan apapun. Aku teringat dengan Eros. Aku sama se-kali tidak menyadari bahwa sedari tadi tidak ada suara yang ditimbulkan darinya meski-pun hanya seruannya seperti saat dia menemukan sesuatu.
Kini aku berdiri di depan anak tangga menuju ke lantai atas. Tanpa keraguan se-dikit pun aku melangkah naik. Di lantai ini hanya ada tiga ruangan yang semuanya adalah ruang tidur.
“Eros? Kamu di mana?” Aku memanggilnya saat aku melongokkan kepala ke dalam kamar pertama di lantai ini.
Tak ada tanda-tanda dirinya ada di sini.
“Ros?” Untuk yang kedua kalinya aku memanggilnya di kamar kedua.
Dan lagi-lagi dia tak nampak di kamar ini.
“Ros, kamu nggak perlu nakut-nakutin aku.” Kali ini di kamar ketiga sekaligus kamar terakhir. Dan akhirnya aku menemukannya. Tapi…
Ya Tuhan! Eros tergeletak di sisi tempat tidur dan tak sadarkan diri!

***

Aku terpaku di depan sebuah makam. Tatapanku kosong memandangi tanah yang baru saja menimbun sebuah peti mati berisi seseorang yang tak bernyawa. Di bagi-an kepala jenazah tertanam papan kayu bertanda salib bertuliskan nama, tanggal lahir, dan tanggal kematiannya.
R.I.P. Roberto Eros Haryadi. Lahir 8 Mei 1992. Wafat 19 Agustus 2014.
Benar. Eros lah yang ada di dalam tanah ini. Lebih tepatnya hanya jenazahnya.
Bisa bayangkan bagaimana terpukulnya aku? Aku yang kemarin menemaninya menyelidiki misteri rumah tua bergaya Eropa itu, masih belum bisa memercayai keper-giannya. Aku yang sering mengumpatinya karena tindakannya yang aneh-aneh kini ha-rus menerima kematiannya.
Ya, aku benar-benar merasa sangat kehilangan sahabat karibku yang aku kenal sejak kecil ini.
Aku masih memikirkan kematian Eros yang tanpa sebab. Setelah menemukan-nya pingsan di kamar lantai atas rumah tua itu aku langsung membawanya ke rumah sa-kit terdekat. Dokter UGD rumah sakit tersebut yang menangani Eros dibuat sedikit bingung, seolah mereka tak mampu berbuat apa-apa. Usai pemeriksaan guna mendapat-kan diagnosis utama para dokter menyatakan bahwa Eros koma dan harus dirawat di ru-ang ICU. Setelah segala upaya yang dilakukan tim medis untuk menindaklanjuti apa yang terjadi pada Eros namun pada akhirnya dia tak dapat diselamatkan dua hari setelah kejadian, tanpa sempat siuman.
Terlintas di otakku untuk kembali menyelidiki rumah tua itu, terutama kamar ke-tiga di lantai atas di mana Eros pingsan. Masih dengan Jeep Katana kesayanganku ini a-ku bergegas menuju ke rumah tua bergaya Eropa yang kemarin kami selidiki.
Lagi-lagi, aku tak dapat merasakan kehadiran para makhluk itu saat aku mema-suki rumah tua itu. Terdapat garis batas polisi di sekeliling rumah itu. Aku mencoba me-nerobosnya. Tanpa berpikir panjang aku segera melangkah ke lantai atas. Hingga akhir-nya aku sudah memasuki kamar di mana aku menemukan Eros yang tak sadarkan diri.
Ruangan itu memiliki ukuran 5x5 meter dan terdapat kamar mandi di dalam. Pe-rabotan masih tersusun rapi di sana. Tempat tidur, meja belajar, lemari, meja rias, dan rak buku. Di sisi kiri tempat tidur aku menemukan sebuah kotak misterius, yang menu-rut keterangan para polisi yang menyelidiki kasus Eros kemarin terdapat sidik jari Eros di gembok kotak itu.
Rasa penasaran ini semakin memuncak saat aku terus memandangi kotak miste-rius itu yang bertuliskan Pandora’s box. Tanpa butuh waktu lama untuk berpikir aku mende-kati kotak itu dan membukanya.
Namun sesuatu yang aneh terjadi padaku.

***

Aku mengerjapkan mata saat aku terbangun dari tidurku. Ha? Aku sudah ada di kamarku? Bukannya aku sedang di rumah tua itu? Apa yang terjadi denganku?
Secarik surat yang ditulis di kertas usang tergeletak di meja lampu di sisi tempat tidurku, menarik perhatianku. Aku membuka lipatannya dan membacanya.

30 Juli 1971
Kotak ini adalah milikku. Tiada satu pun manusia selain aku yang berhak mem-buka kotak ini. Aku memberi kutukan atas kotak ini bagi siapapun yang membu-kanya, akan mati tanpa sebab.
Pandora Holmes

Siapa itu Pandora Holmes? Apa maksud dari mati tanpa sebab?
Aku teringat dengan kejadian terakhir sebelum aku ada di kamar ini. Aku ada di dalam kamar lantai atas rumah tua itu. Aku sedang membuka kotak misterius itu di sana dan, entah kenapa tubuhku melemas dan aku tak ingat apa-apa lagi.
Apakah Eros mati tanpa sebab karena membuka kotak itu? Lalu, aku?
Aku bergegas turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Begitu herannya a-ku ketika melihat ruang tamu yang dipenuhi orang-orang berbaju serba hitam. Mama menangis sedikit meraung di pelukan Papa. Jose, kakak laki-lakiku, berdiri terpaku di samping Mama dan Papa sambil memandangi peti mati di tengah ruangan.
Peti mati? Siapa yang meninggal? Kenapa tak ada yang memberiku kabar?
Rasa penasaranku saat ini sama dengan rasa penasaran dengan kotak di rumah tua itu. Aku berjalan mendekati peti mati itu dan melongok ke dalam peti mati di tengah ruang tamu rumahku. Di sisi peti mati itu tersandar papan kayu bertanda salib.
Tulangku serasa meleleh ketika yang aku lihat di dalam peti mati adalah tubuhku yang sudah tak bernyawa dan membaca tulisan pada papan kayu salib.
R.I.P. Alberto Haris Sutanto. Lahir 17 Maret 1992. Wafat 22 Agustus 2014.

Oh-my-God!

"Karyaku Suaraku" (2014)

Aku mengambil selembar kertas putih itu. Untuk yang pertama kalinya aku mulai belajar menulis fiksi. Dengan sebatang pensil yang sudah kuraut sampai runcing ini aku mulai menggores kata demi kata, segala sesuatu tentang gejolak di jiwa tak lupa kutuangkan ke atas kertas ini.
Aku membuka halaman terakhir majalah sekolahku. Di baris pertama halaman itu tertulis, “MATA Yang Akan Datang”, mengulas tentang semua hal yang akan dibahas di majalah edisi berikutnya. Pada beberapa baris berikutnya tertulis, “Temukan jawaban dari kisah mereka di Forever Friends karya Vika Puspita Septarani.” Hati begitu girang dibuatnya. Bagaimana tidak? Hasil karya pertama yang kutulis dengan bermodal kertas dan sebatang pensil kayu dimuat di majalah sekolahku edisi ke tiga. Sejak saat itu permintaan pembuatan fiksi terus mengalir untuk kepentingan sekolah mulai dari majalah dinding kelas, majalah dinding sekolah, ajang perlombaan, dan lain-lain.
Tahun itu aku mulai memasuki tingkat pertama di sebuah sekolah menengah kejuruan di Kota Pelajar ini. Belum banyak yang tahu dan mengenalku. Aku baru saja beradaptasi dengan lingkungan baru dan semua temanku tak ada yang mengenalku sejak aku duduk di bangku sekolah menengah pertama.
“Teman-teman, kita diminta membuat mading untuk dipajang di papan mading sekolah kita. Sekarang kita bentuk tim untuk kelas kita dan sebelum dikejar deadline mari kita susun tim mading dan segala sesuatu yang perlu disiapkan,” kata sang ketua kelas memimpin rapat kecil yang diadakan di kelasku. Ia menunjuk beberapa temanku untuk membantu dalam pembuatan mading kelas kami. “Vik, kamu ikut tim, ya? Aku lihat tampaknya kamu berbakat di bidang jurnalistik.” Sang ketua kelas menunjukku tiba-tiba.
“Aku? Nggak salah? Baiklah, aku akan menjalankan tugasku sebaik-baiknya,” jawabku sambil tersenyum. Ada kesempatan untukku mengenalkan karyaku pada seantero sekolah.
Sehari setelah pembentukan tim dan mempersiapkan perlengkapan untuk pembuatan mading kami mulai bekerja. Aku ditunjuk sebagai sekretaris tim mading kelas kami. Di hadapanku setumpuk coret-coretan pada kertas yang berisi materi yang akan diterbitkan dalam mading kelas kami menanti untuk disalin. Salah satu temanku telah menyelesaikan karikatur yang akan diikutsertakan dalam mading kelas kami. Hari itu kami benar-benar dibuat sibuk oleh kegiatan rutin ini.
Hanya membutuhkan waktu kurang dari dua hari kami telah menyelesaikan mading kelas kami. Aku merasa cukup puas karena aku punya banyak pengalaman dalam pembuatan mading saat aku masih di tingkat sekolah menengah pertama. Dan sebuah karya fiksiku tertempel di sana. Aku tersenyum.
“Eh, kamu yang bernama Vika, ya?” tanya salah seorang temanku yang berbeda kelas. Aku memang tidak mengenalnya, namun entah dari mana sumbernya ia tahu bahwa pemilik nama Vika di angkatan ini hanyalah aku seorang.
“Iya, betul. Ada apa?” Aku mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya akan dibicarakan.
“Fiksimu keren. Aku sampai merinding bacanya.” Ia berujar polos sambil menyeringai, menampakan serentetan giginya yang tampaknya perlu adanya behel di sana.
“Yang benar? Wah, terima kasih sudah menyempatkan diri membaca mading kelasku.” Aku merasakan wajahku memanas, tersipu karena pujiannya.
Suatu hari saat sudah memasuki tingkat ketiga aku mendengar iklan mengenai sebuah sayembara penulisan non-fiksi dengan tema kisah cinta di sekolah, dan harus menyertakan kegiatan apapun yang terjadi di sekolah. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, semangatku pun mulai membara sejak aku berkata begitu dari dalam hati. Meskipun deadline masih jauh aku telah menyelesaikan karya non-fiksiku dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Menceritakan kisah cintaku pada seorang kekasihku yang saat itu kami berpisah karena adanya kegiatan praktik kerja industri yang berbeda propinsi. Dan pada suatu siang, dua minggu setelah pengiriman naskah non-fiksiku aku menerima telepon dari sebuah redaktur majalah terkenal di Indonesia yang mengadakan sayembara tersebut. Ia menyatakan bahwa karya non-fiksiku layak masuk nominasi dan aku diundang ke Jakarta untuk menghadiri acara pengumuman sayembara tersebut. Namun undangan itu tak kuindahkan karena mengingat aku masih duduk di bangku sekolah dan banyaknya kegiatan yang tak dapat aku tinggalkan. Begitu gembiranya hati ini karena selangkah demi selangkah aku mulai mampu menunjukkan pada semua orang bahwa aku bisa berbicara melalui karya-karyaku. Dan suaraku perlu didengar dan dirasakan semua orang meskipun tulisanku belum dinyatakan juara pertama, kedua, maupun ketiga.
Saat ini aku sedang menempuh bangku pendidikan di sebuah sekolah kesehatan dan sudah hampir memasuki tahun ketiga. Dua semester lagi mungkin aku tak akan lagi ada di kelas dengan kursi bermeja ini. Waktu luang di akhir semester ini aku gunakan untuk lebih memperdalam bakat menulisku. Dan sekarang zaman sudah canggih. Dahulu aku yang membuat karya hanya bermodal kertas dan sebatang pensil sekarang aku bisa membuat karya fiksi maupun non-fiksi dengan komputer.

Sebuah media penerbit buku memberi kesempatan bagi siapapun yang gemar menulis untuk mengirimkan salah satu karya bertema pengalaman maupun harapan ketika memilih dunia tulis menulis. Aku tak akan pernah meninggalkan kesempatan yang mungkin tak akan datang untuk ke dua kalinya ini. Aku menulis ini, berharap karyaku dapat mewakiliku berbicara dengan banyak orang sehingga orang lain menganggapku ada di dunia ini dan aku layak untuk berbicara.

"Ternyata" (2014)

Aku merengkuh tubuh dingin itu. Mencoba menghangatkannya yang hampir kaku. Jaket kulit yang semula terbalut di tubuhku kini ada di tubuhnya. Matanya mulai meredup. Wajanya memucat. Tubuhnya menggigil perlahan. Aku merapatkan pelukanku. Tangannya yang hampir tak bisa bergerak mencoba meraih wajahku yang penuh dengan air mata. Perlahan tangannya turun ke lenganku, hanya dingin yang ku rasakan dari sentuhannya. Aku melepaskan pelukanku, memperhatikan apa yang akan disampaikan melalui matanya. Dari sorot matanya yang benar-benar tak ada cahaya lagi di sana aku kembali merengkuhnya. Air mataku kembali keluar tak tertahankan. Tubuhku terguncang karena isakanku.
“Tia?” Ia memanggilku, tepat di telingaku.
“Apa? Ada apa, Ezra? Apa yang kamu mau?” tanyaku masih sambil terisak.
“Kamu kenapa nangis? Kenapa juga kamu kasih aku jaket? AC-nya dikecilin aja, ah. Cuma kedinginan gara-gara AC aja kamu jadi lebay gini.”

Dan aku pun tersadar dari ke-lebay-anku.

"Jangan Ambil Putra" (2014)

“Dokter Suryo, pasien kecelakaan yang baru saja tiba mengalami fracture pada femur, nasal hemorrhage, luka-luka di sekujur tubuh, dan kondisi pasien tidak sadarkan diri.”
“Baik. Segera lakukan pemeriksaan fisik. Jika hasilnya baik kita langsung bawa dia ke ruang operasi.”
“Baik, Dokter.”
Aku mendengar percakapan antara perawat dan dokter bedah itu. Meja pendaftaran pasien dengan UGD hanya dibatasi pintu yang sengaja diberi lubang untuk memudahkan tenaga rekam medis dan perawat berkomunikasi. Aku yang mendengar semuanya seketika bergidik ngeri.
“Pasiennya kecelakaan?” tanyaku pada temanku sesama profesi rekam medis.
“Iya. Sampai patah gitu tulangnya. Kasihan, ya?” katanya. Wajahnya memelas, membayangkan rasa sakit yang mungkin dirasakan sang pasien.
“Mungkin kelalaian dia sendiri yang bikin dia begini.”
“Mungkin juga ini kehendak Sang Kuasa.”
Di sela-sela perbincangan kami seseorang dengan tergopoh-gopoh mendatangi meja pendaftaran. Ia bermaksud mendaftarkan sang pasien.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” sapaku.
“Saya atas nama Sumarno ingin mendaftarkan korban kecelakaan yang ada di UGD. Saya menemukan identitas dirinya di dompet. Ini, Mbak,” katanya seraya menyerakan identitas diri milik pasien.
Aku memperhatikan sejenak identitas diri milik si pasien. Dan seketika itu juga ku rasakan hawa dingin menusuk tulang dan membuatku hampir lunglai.
“Pacu jantungnya!” seru Dokter Suryo memerintah para perawat yang menangani pasien itu.
“Dokter, pasien tidak tertolong,” kata salah satu perawat yang membantu Dokter Suryo untuk memacu jantung pasien, sesaat setelah mereka mencoba menolong jiwa pasien. Namun tampaknya usaha mereka tidak membuahkan hasil.

Seketika air mataku jatuh ke pipi dan tubuhku lunglai. Hatiku begitu pilu mendengar para perawat berkata bahwa pasien yang mereka tangani tak dapat ditolong karena keadaannya yang terlalu parah. “Jangan Kau ambil Putra, Tuhan. Kami belum sempat membangun rumah tangga yang Kau anugerahkan pada kami,” isakku.

"Good-bye Days" (2014)

Aku memungut MP3 player yang terlepas dari genggamanku. Bersamaan dengan itu earphone di genggaman tanganku yang lain pun terpasang di MP3 player yang baru saja kupungut dari lantai.
Aku sudah berdiri di tempat ini. Tempat di mana kita terakhir bertemu dan mendengarkan musik bersama, hanya berdua di pantai ini, lima tahun yang lalu. Aku terkenang semua yang pernah kita lalui berdua.
Aku memberikan satu sisi dari earphone yang terpasang di telinga kananku padamu. Saat kau mulai mendengarkan musik perlahan aku menaikkan volume.
“Musik yang indah, Yoko-chan. Aku sangat menyukainya,” ujarmu sambil tersenyum penuh arti.
Ya, inilah musik yang kutahu bahwa kau sangat meyukainya. Musik dengan tangga nada yang amat sangat sederhana namun memiliki arti yang mendalam.
Kau tahu? Sejak pertama kali kau memanggilku dengan sebutan Yoko-chan hari-hariku selalu dipenuhi oleh bayang-bayang wajahmu. Kupikir, sejak saat itu aku mulai menyukaimu, dan kau juga menyukaiku.
Hingga pada suatu hari kau memutuskan untuk meninggalkanku seorang diri di saat aku mulai merasakan manisnya cinta pertama yang kau berikan kepadaku.
Aku sadar. Aku memang mencintaimu sejak aku mulai mendengar mulutmu memanggilku dengan Yoko-chan. Namun rasa yang ada untukmu ini perlahan membeku, padahal aku sudah berusaha untuk menahan rasa ini.
Aku tahu jika kembali teringat tentangmu aku akan merasa sedih. Sedih karena aku tak dapat mempertahankan cinta pertamaku agar tetap ada di hatiku. Aku berharap saat bertemu denganmu, masih dengan senyuman yang sama seperti yang sering kau lihat dulu, aku bisa memanggilmu dengan sebutan teman. Agar rasa yang perlahan membeku ini kembali mencair.
Di sini, di pantai ini, setiap hari selama lima tahun terakhir aku berusaha membuat hatiku mencair. Aku masih berharap suatu saat jika kita bertemu di tempat ini kita akan mendengarkan musik sederhana nan indah yang dulu pernah kau sukai ini.

 “Goodbye days. Selamat tinggal hari-hariku yang indah bersamamu. Aku ingin selalu mengingat cinta pertamaku. Kota-kun.”

"Harus Berakhir" (2014)

“Maaf, Vira. Sepertinya hubungan kita sampai di sini saja. Aku tak sanggup lagi menutupi semuanya,” kata Farhan.
 “Kenapa, Farhan? Kenapa kau mau mengakhiri hubungan kita? Apakah kau sudah punya kekasih lain? Katakan yang sejujurnya,” buru Vira, kekasih Farhan. Matanya mulai berair.
Farhan terdiam. Pikirannya benar-benar semrawut. Antara tidak tega dan tidak ada gairah lagi dalam menjalani hubungannya dengan Vira. Ia masih terdiam dan tertunduk tanpa menunjukkan sorot matanya pada Vira. Setelah mentalnya cukup terkumpul akhirnya ia memberanikan diri untuk mengatakan yang sejujurnya pada kekasihnya itu. “Iya, Vira. Aku sudah punya kekasih lain.” Kali ini matanya berani menatap Vira yang siap menanti jawaban apapun darinya.
Vira lemas. Tak ada cukup tenaga di tubuhnya untuk menopangnya duduk. Ia begitu syok mendengar pernyataan dari Farhan. Sebuah pengkhianatan cinta yang amat menyayat hatinya. “Siapa dia, Farhan?” tanyanya di sela-sela isakannya.

“Hanung.” Tanpa ada kata-kata lagi Farhan meninggalkan Vira yang kini menjadi mantan kekasihnya.